Senin, 27 Desember 2010

SEJAUH AKU BISA BERLARI

Sejauh aku bisa berlari……….
Agustus, 2009
            Gedung Ammanagappa yang telah ramai didatangi keluarga yang akan akan menyaksikan anak, kemenakan, kakak, adik, om, tante dan sanak keluarga yang akan diwisuda hari ini. Di sudut gedung ini aku tersudut menyaksikan ceremony, aku pun diwisuda hari, ibu dan kakak-kakakku pun rela datang jauh-jauh dari Mamuju untuk merayakannya. Seharusnya bahagia karena ini adalah hari penentu bahwa aku akan melepaskan statusku jadi mahasiswa namun di setiap sisi hati terasa perih, dan sepi. kutatap kembali satu persatu peserta wisuda seakan mata ini selalu dibimbing untuk mencari sosoknya, sosok yang selalu membuatku merasakan satu feel yang beda jika berada dekat dengannya feel yang tiba-tiba menyeruak di setiap ulu nadiku ketika kurasakan keberadaannya di sekitarku.
Blitz. Aku kaget setengah mati tiba-tiba sebuah kilatan kamera menyambar mukaku. Aku langsung menutup mata, terasa perih. Aini memegang tanganku suaranya terdengar cemas karena aku tiba-tiba menutupi wajahku. Kukatakan tidak apa-apa tapi kurasakan dia menyematkan selembar tisu di tanganku yang masih menutupi wajahku. Saat mataku terbuka pandanganku tidak segera normal seperti ada sebuah benda hitam menutupi pupil mataku. Kucoba untuk mengedip-ngedipkannya ternyata berhasil. Alhamdulillah nggak apa-apa, gumamku dalam hati.  
“Maaf, aku hanya ingin mengambil gambarmu saat menoleh tadi, aku lupa mematikan blitznya.” Sebuah suara menyapaku. Aku menengok suara yang berasal dari samping itu.  
“Rehan!Kapan kamu di sini? Bukannya tadi kamu duduk di sana?” sambil menunjuk bangku yang ternyata sudah diisi Aini yang tadi duduk di sampingku.
“Aku langsung minta tukar waktu kamu menutup mata tadi, sorry ya?”
“Permisi dulu dong sebelum take!” jawabku dengan cemberut.
“Pose menoleh tadi bagus sayang kalo’ dilewatkan!”
“Udah ah, malas berdebat sama kamu!”
“Jangan malas dulu dong, bosan nih dengar ceramah melulu. By the way, habis wisudaan rencananya mau ngapain?” Tanya Rehan.
“kerja, menikah, punya anak, dan menjadi tua after that masuk ke liang lahat!” jawabku sewot, pertanyaan itu sudah dia tanyakannya delapan kali.
“Sewot amat sih, Non! Kemarin katanya mau ke pulau Borneo, kok sekarang lain lagi?”
“Itu kamu dah tahu jawabannya” kulihat dia akan membantah lagi tapi segera kupotong, “eits, jangan provokasi ya, itu nggak ngaruh!”
“Benar, Ra. Kalimantan nggak seru, kamu ke sana mau lanjut kuliahkan ngapain jauh-jauh ke sana bagusan disini kok! Belum lagi kamu nggak punya teman di sana kamu bakalan kesepian, oh iya semalam juga aku nonton di Kalimantan seriing terjadi kebakaran hutan, asapnya bias masuk ke kota, asmamu bisa cepat kambuh nah kalo kamu sakit siapa yang bakal urusin, duh jangan ya?” kumonyongkan mulutku waktu kuliat muka memelasnya.
“NGGAK NGARUH!!!” kukatakan itu sambil setengah berlari meninggalkan dia.
***
            “Jadi ke Kalimantan?” Pak Charlie bertanya tanpa menatapku. Dia masih asyik memeriksa skripsi yang kuajukan padanya.
            “Insya Allah, Pak.”
            “Disana sama siapa?” tanyanya lagi, masih tak mengalihkan pandangannya dari skripsiku.
            “Kakak sulung saya, Pak. Dia yang memanggilku ke sana.” Jawabku sambil menatap ujung pensil yang ia gunakan untuk memeriksa formulir pascasarjana yang kusodorkan padanya. Sesekali pensil itu bergerak membentuk sebuah garis tak sempurna. Sepertinya beliau mengoreksi beberapa kesalahan disana.
            “Yakin tidak ingin lanjut di bahasa inggris lagi?”pak Charlie melirikku sekali lalu kembali menekuni formulir di tangannya.
            “Tidak,pak”jawabku yakin
            “kenapa?”
            “saya ingin focus di ilmu pendidikan, prinsip dasar bahkan bagaimana mengembangkan kurikulum, dan system pendidikan yang dianut Indonesia.”
            “Kamu begitu yakin dengan pilihan itu, apa yang membuatmu tertarik?”,kedengarannya seperti diinterogasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar