Senin, 11 Maret 2019


LIRIH

“Please, I don’t want to talk him about! I need my privacy, Har!”
            Rena jelas tak ingin membicarakan tentang Ryan. Tapi penolakannya itu justru membuatku bingung. Apa yang membuat Rena menolak? Ryan, secara fisik ia gagah, anak tunggal dari keluarga yang cukup berada, seorang hacker yang handal, dan satu lagi keistimewaannya, ia lelaki yang taat. Lima waktunya tidak bolong hanya saja wajah angkuhnya membuat ia tak terlalu mudah untuk bergaul, bahasa tubuhnya seperti sebuah intimidasi meski begitu banyak perempuan yang cari perhatian padanya.
Lalu Rena? Di kampus ia termasuk mahasiswi cerdas, dan santun dengan jilbab rapat yang menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meskipun di kelas secara fisik masih banyak yang lebih unggul darinya namun wibawa dari wajah senyumnya membuat teman-teman senang berada di dekatnya. Sebagai sahabat baik, aku setuju jika mereka bisa bersama karena keramahan Rena bisa mengimbangi kekakuan Ryan dalan bergaul. Menurutku itu penting.
            “Har, I don’t need a boyfriend now but a soul mate, a true friend who leads me in my religion and my life.”
            “Don’t you think that he is a good boy? He is nice one.”
            “Nice for them.”
Jawab Rena sambil menganggukkan kepalanya pada satu arah.  Aku mengikuti pandangan Rena. Beberapa mahasiswi sedang mendekati Ryan di aula kampus tak jauh dari tempat kami duduk. Siang ini, kami sedang menunggu dosen mata kuliah Integrated Language Skills yang sudah telat satu jam. Tak ada mahasiswa berani meninggalkan kelas karena Mrs. Arma sering muncul sesaat sebelum jam kuliahnya habis. Kebiasaan yang jadi andalan dosen-dosen dengan jam terbang yang cukup padat dan itu sangat merugikan, meskipun sebagian teman merasa senang tiap kali ada mata kuliah yang kosong.
            “Rena, aku nggak ngerti sama kamu. Banyak yang menyukai Ryan karena dia…..”
            “Gagah, tajir, pintar, dan populer!” Rena memotong kalimatku.
            “Har, Ryan memang punya segalanya, punya semua yang disukai wanita. Aku tidak munafik, aku suka itu tapi aku tidak ingin menyukainya sebatas apa kelebihannya selain itu, aku betul-betul tidak merasakan apa-apa padanya. Aku hanya ingin jadi temannya!”
“Ditambah lagi dia angkuh, aku nggak suka orang kayak gitu hehehe!” Rena terkekeh sendiri dengan kalimatnya.
“Honestly, plis!” pintaku padanya.
“I don’t need a boyfriend, but a real friend who leads my family later in my religion and my life.” Ada keseriusan menaungi tatapannya.
 “If I can be…” lirihku.
***
            Dua minggu menjelang final test, perpustakaan dalam tubuh kampus ungu ini jadi ramai, mahasiswa pasti sedang sibuk cari referensi untuk tugas-tugas akhir sebelum final sama denganku yang sedang terpojok di sudut tersepi ruangan ini. Bukan untuk mengerjakan tugas aku hanya sedang menunggu Ryan. Tadi pagi dia menelponku ada yang ingin dia tanyakan. Pasti soal Rena lagi. Anak itu masih belum menyerah padahal baru kemarin ia ditolak, Rena menceritakannya padaku. Hanya saja aku sudah cukup lama menunggunya namun dia tak tampak juga. Sebuah pesan singkat membuyarkan lamunanku.
“Har, aku di depan perpus. Bisa keluar?
            Tanpa pikir panjang, aku menyambar ransel di loker penitipan bergegas menemui Ryan. Dari jendela perpustakaan aku bisa melihatnya, dia pun sedang melihat ke arahku. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Aku sungguh-sungguh menyukainya, Har!” Keluh Ryan membuka percakapan.
“Meskipun dia hanya melirikku, aku sangat bahagia.”
“Ryan, boleh aku tahu alasanmu menyukainya?”
“Aku menyukainya, Har. Jujur, aku tak tahu kenapa, namun setiap berada di dekatnya, aku melihat ketulusan seperti mengalir dari tatapannya”
“Ya ampun! Ternyata kaupun bisa romantis!” Kucoba untuk membuatnya tersenyum.
“Plis, Har. Aku serius.”
“Ryan, kamu temanku dan Rena sahabatku, aku tentu senang jika kalian bisa bersama karena aku tahu kalian itu cocok hanya saja Rena sudah mengatakan alasannya kan?”
“Dia butuh seorang imam bukan seorang pacar! Aku tak menganggap itu berlebihan karena wajar jika Rena memilih yang seperti itu.”
“Lalu, kenapa kau tak jadi imamnya saja?”
“Har, mana bisa aku jadi imam? Pengetahuan agamaku standar, imanku naik turun dan untuk jadi seorang imam itu nggak gampang, tanggung jawabnya berat!”
“Ryan….Ryan…jadi selama ini kamu pikir imam yang seperti ‘itu’ yang Rena maksud?”
“Loh, dia sendiri yang mengatakannya.”
“Yang dia maksud itu seorang suami!!! Dia nggak berniat pacaran langsung nikah begitu!”
“Suami?”Ryan melongo
“Iya, suami!”
“Yang itu aku sanggup!”
“Kalo begitu lamar dia, kalo ngga’ ya diambil orang!” Jawabku sambil berlalu karena aku yakin dia pasti masih akan mengejarku.
“Tapi kamu yakin dia bakal nerima aku? Kan belum kerja, kuliah saja baru semester lima…”jawab Ryan lemas.
“Soal itu tanya langsung padanya. Ryan, aku sangat mengenalnya, dia memang cukup istimewa tapi plis kalo memang kalian nantinya bisa bersama jangan sakiti dia, karena dia sahabat yang aku sayang…Eits, jangan curiga dulu semuanya tulus kok.” Kuucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh. Kutatap Ryan percaya.
“Apa sebagai sahabatnya kau tidak pernah punya perasaan yang lebih istimewa padanya?” selidik Ryan.
“Persahabatan kami lebih baik dari cinta itu sendiri”. Oups, kalimat itu terlontar begitu saja.
“Artinya kamu memang menyukainya!” Ryan menyimpulkan.
“Ryan, plis…aku lebih menjagokan kamu untuk dekat dengannya. Aku hanya tak mau merusak persahabatan kami, aku tak ingin Rena menjauhiku, itu saja.” Jawabku tegas.
“Kamu yakin, Har?” Tanya lagi.
Aku hanya menatap lantai koridor kampus yang kami lalui tanpa menjawab pertanyaan Ryan.
“Bagaimana jika ia pun menyukaimu?” Aku menghentikan langkah mendengar pertanyaan tersebut. Sekilas ada rasa senang mendengar kemungkinan itu, tapi…
“Tidak mungkin dia hanya menganggapku sahabat…” Jawabku lirih.
“Lalu bagaimana jika memang itu kenyataannya, Har?”
Tiba-tiba sebuah suara yang sangat aku kenal mengejutkan kami, Rena!
Maka, aku tak bisa menjawab lidahku kelu seketika sedang Ryan berlalu dengan pasti, kecewa.
***