Selasa, 11 Januari 2011

Love So Twilight

Tidak ada yang tahu, kapan persisnya Reno mencintai Ais. Mereka berteman sejak tahu bahwa tanggal lahir mereka sama yang hanya beda di tahun, Reno lebih tua satu tahun dari Ais. Tahun pertama mereka kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Daeng. Tak hanya itu, Reno dan Ais bahkan selalu ditempatkan dalam satu kelompok belajar di kelas. Reno yang pendiam menyadari perhatiannya yang berlebihan terhadap gadis yang selalu ceria itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa tangannya begitu lincah menuliskan bait-bait puisi untuk gadis itu. Meski hanya sekedar melihat ia tersenyum, Reno sudah sangat senang. Setiap kali Ais terlihat murung maka ia akan segera mendatanginya walau sekedar bertanya “ada apa?” karena setelah itu, Ais akan bercerita panjang lebar. Itu semua sudah membuat Reno bahagia.  Reno tiada henti-hentinya selalu jadi yang terbaik untuk gadis itu. Bahkan ketika Ais mulai jatuh cinta, ia tak pernah berusaha menghalangi atau menampakkan rasa cemburunya, dia akan menjadi pendengar setia akan kisah-kisah ‘merah jambu’ Ais yang betul-betul masih kekanak-kanakan.
Namun hingga sampai tahun ketiga mereka kuliah, Ais seolah tidak pernah sadar akan semua perhatian Reno padanya. Seolah semua perhatian itu atas dasar persahabatan saja. Dan setiap kali ia menerima puisi-puisi indah Reno, seromantis apapun kata-katanya, Ais hanya bisa menunjukkan rasa senangnya yang teramat sangat kekanak-kanakan. Ais tidak akan segan melompat kegirangan di depan Reno. Mungkin karena Reno begitu kalem, Ais tidak tahu betapa jatuh cintanya sahabatnya itu padanya. Betul-betul cinta pada gadis yang begitu tomboy dalam balutan jilbab lebarnya itu. “Reno, kau masih tak menyampaikan perasaanmu padanya?” Jabir ketua tingkat mereka sekaligus teman sekostan Reno yang lamban laun bisa membaca perhatian Reno pada Ais, selalu mendorong Reno untuk menyampaikan perasaannya saja. “Antara laki-laki dan perempuan tidak ada persahabatan yang abadi atau berakhiran dengan ketidak jujuran rasa.” Jabir bahkan sudah sering mengingatkan itu pada Reno. “tapi saat ini dia sedang dikhitbah seorang ikhwa yang ilmunya jauh dariku dan sangat pantas untuk mendampingi Ais.”Jabir tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia sempat pula berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya pada Ais tentang Reno. Namun Reno memintanya untuk tidak melakukan itu. “aku takut ketika ia tahu perasaanku justru ia akan menjauhiku, dan aku sungguh tak ingin kehilangan sahabat sepertinya.” “kau sungguh mencintainya, Reno!””dalam hati aku sudah berjanji akan menjaganya dengan amanah andai suatu saat ia jadi milikku seutuhnya bukan sebagai sahabat lagi.”
“Kau tahu, Reno aku juga menyukainya tapi jika yang akhirnya mendapatkan ia adalah dirimu, sungguh aku tak menyesal untuk mundur, aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik. Gadis sepertinya akan membuatmu bahagia. Aku perhatikan tiap kali bersamamu ada binar indah di matanya. Mungkin ia pun mencintaimu, hanya saja tidak menyadarinya karena persahabatan kalian itu.”
“Aku juga heran dengan Ais. Tak satupun pinangan yang datang padanya ia terima.”
“dari mana kamu tahu tentang pinangan-pinangan itu, Jabir?”
“Karena sebagian yang mendatanginya itu adalah ikhwa-ikhwa yang kukenal di kajian-kajian yang kumasuki. Wajar saja, Ais dipuja. Dimata ikhwan-ikhwan itu, Ais adalah muslimah berkarakter, meski dengan jilbab lebar ia tetap bersosialisasi dengan siapapun, tidak sok jual mahal seperti akhwat kebanyakan. Meski ada juga yang tidak menyukai prinsip Ais, tapi kenyataannya, banyak yang memujanya dibanding yang benci bahkan don juan kelas tetangga setengah mati mengincarnya. Apa kau mau dia akhirnya jatuh pada lelaki seperti itu?”
“Aku bersyukur sudah jadi sahabatnya, dia memilihku jadi sahabat terdekatnya pun aku sudah senang!”
“Kau pengecut, Reno! Kau akan tersiksa dengan perasaanmu itu.”
Mungkin…
“Ren, kamu ikut study tur ini?” dengan muka manyun duduk agak menjauh dari Reno. Meski bersahabat, Ais tetap menjaga jarak wajar jika sedang bersama dan Reno mengerti itu. “Kau begitu menjaga prinsipmu, Ais.” Pujian itu hanya menari-nari di benak Reno. Ia tak pernah punya cukup keberanian untuk menyampaikan semua itu pada Ais. “Iya, mau diapalagi meski agendanya belum jelas, kita tetap harus ikut. Selain itu, study tour ini adalah pengganti final test untuk melulusi mata kuliah children ini, Ais ikutkan?” Ais hanya mengangguk dengan tatapan enggan ke arah mahasiswa-mahasiswa lain yang justru senang mengikuti study tour ke Tana Toraja itu. Di kepalanya penuh dengan pertanyaan tentang hubungan mata kuliah Children dengan perjalanan mereka yang sangat tidak ada korelasi baginya itu. Akhirnya selama 2 hari 3 malam itu mereka dan mahasiswa lain yang mengambil mata kuliah yang focus mengajarkan bahasa Inggris pada anak usia dini itu pun menjelajahi tanah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu, situs-situs pemakaman jaman  purbakala kebanggaan masyarakat Tator yang mendominasi kunjungan mereka membuat Ais semakin menyesali keikutsertaannya. Hanya pemandangan alam dan kabut dingin yang menyelimuti kota itu yang bisa membangkitkan senyum Ais. Hingga malam terakhir  sebelum mereka kembali ke Makassar, Ais berniat sholat di sebuah mesjid yang tak jauh dari penginapan mereka, Ia tidak tahu bahwa sejak hari pertama tiba di tempat itu Reno sudah mendatangi masjid yang hanya satu-satunya di jantung Makale, salah satu kota pusat tanah toraja itu.
Ketika Ais ,berjalan sendiri ia melihat Reno sedang duduk memandangi jalan raya yang mulai sepi di senja menjelang maghrib itu. Selama study tur itu Ais dan Reno jarang bersama karena ada pembagian kelompok dan baru kali itu mereka tidak di tempatkan di satu kelompok yang sama. “Reno, kenapa melamun sendirian di situ?ke mesjid yuk, sebentar lagi maghrib.” Reno tanpa di komando pun langsung mengikuti langkah Ais menuju masjid itu.
Di depannya, Ais masih duduk bersimpuh entah apa yang Ais minta do’anya begitu panjang, mungkin ia sangat bersyukur bisa sholat di di tengah-tengah kaum minoritas di kota itu. Reno menunggu Ais di balkon masjid tersebut, ia pun merasakan ketenangan yang sangat susah ia deskripsikan. Ia menatap Ais yang semakin tertunduk itu, perlahan terangkailah sebuah syair dalam benak Reno
Bidadari…
Kau ada dihadapku
Bersimpuh di depan kekasihmu itu
Sayap indahmu mulai terkembang
Bawa aku terbang,
Jadikan aku penunjuk jalanmu
Percaya padaku
Aku takkan menyesatkanmu
            “Ren, balik yuk!” Reno tak bergeming. “Reeeennnn, kok melamun sih.” Sambil melambaikan tangannya di wajah Reno.
“Oh,Eh,iya bidadari!” Reno salah tingkah dan latah.”Bidadari?mana?” Ais melongok ke kanan dan kiri dan tak menemukan siapa pun di sekitar mereka, hanya ada beberapa jama’ah lelaki yang bersiap pulang di depan masjid tersebut. Menyadari kekonyolannya itu, Reno tersipu malu dan Ais hanya terkekeh. “Bidadari itu adalah dirimu Ais.” Kalimat itu pun hanya jadi sebuah rangkaian kata yang tak pernah tersampaikan. Mereka melangkah pergi  sesaat kemudian bis yang mereka tumpangi itu bersiap meninggalkan tanah toraja.
“Ini tulisan siapa, Ais?”  Emma sahabat sekaligus teman sekamar Ais mengacungkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan di sana dan beberapa lembar hasil print di meja belajar mereka yang sengaja di satukan.
“Itu pemberian Reno” jawab Ais singkat, ia sedang mencuci peralatan makan mereka. Hari itu memang giliran Ais untuk membersihkan kamar yang menyatu dengan kamar mandi. Jadi untuk keperluan cuci dan mandi mereka tak perlu keluar kamar lagi.  
“Dia mencintaimu, Ais…” Emma mengucapkan kalimat itu dengan lirih tapi masih tertangkap dengan jelas oleh Ais, gelas yang sedang dicucinyapun terlepas dari tangannya. Untung gelas plastic jadi tak pecah.
“Dia hanya menganggapku sahabat.” Emma menatap Ais.”Mengapa kata-katamu terdengar sedih?” Ais hanya menggelengkan kepala. “kau juga mencintainya,Ais?” airmata justru mengalir di pipinya. “Kenyataannya, dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Bahkan ketika ia tahu ada yang mengkhitbahku, ia tak menunjukkan sikap cemburu justru mendorongku untuk menerimanya.” Tapi pinangan itu, kau sudah tolakkan?. Ais mengangguk. Apa karena dia?””aku bingung, Ma. Tiap kali ada yang mendekatiku aku akan selalu membandingkannya dengan Reno, apa mereka bisa membuatku nyaman sama ketika aku bersama Reno. Bersama Reno tak pernah sedikit terlintas dipikiranku ia akan berpikir macam-macam padaku, ia juga tidak pernah menatapku dari tatapan sewajarnya, dan hanya ketulusan yang aku lihat di matanya. Bahkan tiap kami pulang dari kampus ia tidak akan sengaja berdiri di sampingku, aku tahu ia menjaga pandangan orang tentangku.” “itu cinta Ais. Apa kau sadar?” Airmata Ais semakin membanjir. “Reno tak mengatakan apapun.””Aku menunggunya untuk mengatakan semua perasaannya tapi di sisi lain aku khawatir dengan persahabatan kami, aku tidak mau kehilangan dia sebagai sahabatku. Aku bisa merelakan perasaanku tapi kehilangan dia sebagai sahabatku, rasanya akan jauh menyakitkan.” Ais tak sanggup lagi membendung airmatanya, Emma hanya bisa memeluknya.”Terkadang cinta tidak harus diungkapkan dengan kata-kata,Ais. Tapi aku mengerti kau tak ingin dianggap berlebihan mengartikan semua perhatiannya. Kamu harus yakin jika kalian tulus mencintai satu saat ada jalan untuk kalian. Kalaupun ternyata kalian pada akhirnya tak bisa bersama artinya masih ada yang terbaik untuk kalian.” Kalimat terakhir Emma menyisakan perih di hati Ais, aku hanya bisa pasrahkan padaNya. Satu do’a terlantun di hati Ais, Robb, jika dengan Reno yang terbaik maka dekatkanlah, namun bila bukan jauhkan dan gantilah dengan yang lebih baik.” “Amin” Ais terkejut mendengar pengaminan Emma”aku tahu do’a yang selalu kau panjatkan itu.”tiap kali kau menutup mata dengan kepala yang begitu khusyuk tertunduk, itu ciri khasmu ketika akan berdo’a seperti itu kan?” Ais tersipu sambil mengusap sisa airmatanya. Tuhan tidak tuli koq, aku juga..hehe..” aarrgghh, jangan menggodaku terus.”Akhirnya Ais tersenyum. “gitu dong, ini baru Ais. Pangeran Reno tentu takkan mau melihatmu menitikkan airmata.” Ais melempar bantal ke arah Emma sambil ngacir keluar kamar dan ia masih sempat membalas Emma. “Dia sahabatku!” Sungguh keras kepala,pikir Emma.
Dan waktu berlalu tanpa henti, menerbangkan semua kisah yang terjadi pada manusia, kisah yang tak mungkin kembali lagi. Waktu mengantarkan Ais dan Reno menyelesaikan studynya tepat waktu.  Ais pun memutuskan ke Kalimantan, ke tempat kakak sulungnya,  Kakak sulungnya itu berharap ia akan menemaninya, apalagi system pendidikan di sana juga bagus, Ais yang sangat mencintai dunia pendidikan pun tertarik. Tapi belakangan ia melewati hari-harinya dengan linangan airmata, ia akan meninggalkan orang tuanya, teman-temannya dan tentunya Reno.
“Kamu jadi ke Kalimantan?” Ais hanya mengangguk. Jauh dilubuk hatinya ia berharap Reno akan menyatakan perasaannya sebelum ia pergi. Tapi sampai ia berdiri di pintu bandara, Reno tak mengatakan apapun. Bahkan tak mengantarnya. Mungkin memang Ais hanya sebatas sahabat bagi Reno, mungkin kado dan puisi-puisi yang ia terima tiap kali Ais ulang tahun itu memang tidak ada artinya, Ais menyesal pernah merasa istimewa di hati Reno, waktu itu Ais ,Jabir dan teman sekelas mereka lainnya mengunjungi Reno setelah 2 pekan absen kuliah karena demam berdarah, untuk pertama kalinya video semua kisah persahabatan kelas English Education C diputar, foto yang diambil secara diam-diam oleh Byan, satu teman kelas mereka juga, Jabir yang ahli IT dan Reno yang memang dijagokan menyusun skrip video tersebut. Satu-satu slide foto bermunculan dengan berbagai kata-kata yang membuat orang-orang menonton video tersebut tertawa mengenang persahabatan mereka, namun ketika slide memunculkan foto Ais yang menoleh hanya ada satu kata dibawah foto itu…cinta…. Semua orang menyoraki, Ais terpaku, Reno diam, dan orang tua Reno yang kala itu juga menonton tersenyum. Jabir berdehem menggoda, Ais pun melirik kejam padanya, ia memang tidak suka jadi bahan gojlokan teman-temannya. Ketika mengalihkan pandangannya dari Jabir tak sengaja mata Ais terbentur di tatapan Reno, baru kali itu ia merasa ada yang lain di hatinya, tatapan Reno seolah mengajaknya membaca sesuatu di sana, namun, Ais segera mengalihkan pandangannya, ia malu. Hati Ais kembali berdetak perih semua itu memang indah namun mungkin memang tidak ada artinya bagi Reno. Ais masih sesenggukan di jok penumpang, ia tak ingin memandang ke arah jendela. Sebentar lagi ia akan meninggalkan pulau itu, ia tak ingin membuat hatinya semakin sedih. Reno juga tak mengantarnya, karena selalu ada pikiran tidak mungkin dibenak Ais, Reno tak terlalu berkepentingan untuk mengantarnya. Terlintas dipikiran Ais untuk melupakan Reno melupakan semua kenangan mereka, setelah pesawat ini lepas landas maka selamat tinggal, cinta! Ais nekat dengan niatnya itu. Itu lebih baik. Aku tak ingin menangis lebih banyak lagi. Cukup sudah sampai disini saja. Ais menghapus air matanya, meski sesekali ia masih sesenggukan. Orang lain yang melihatnya dengan mudah akan tahu, jika ia baru saja menangis. Dalam.
“Jangan pergi jika memang ada masalah yang belum terselesaikan” sebuah suara menyapa Ais. Ia cepat-cepat menghapus airmatanya, ia malu. Seorang lelaki dengan topi sporty hijau dan rambut gondrong menghempaskan badannya di jok bersebelahan dengan Ais. “Aku Ridwan” lelaki itu menjulurkan tangannya berniat menjabat tangan Ais. Ais hanya memandang sesaat ke wajah lelaki itu tepat ketika lelaki itu juga sedang menatap ke arahnya. Ais segera mengalihkan pandangannya, menyesal ia tak mau diantar ayahnya, kalau tahu teman duduknya di pesawat itu adalah laki-laki tentu ia sudah minta tukar, Ais tidak suka diajak ngobrol oleh orang asing. “jangan khawatir, aku tidak akan mengusikmu, silahkan lanjutkan jika masih ingin menangis, tapi jangan salahkan aku jika mengulurkan tisu hanya sekedar menghapus airmatamu, aku bukan laki-laki yang tahan melihat seorang perempuan menangis.” Ais kembali terkejut dengan kata-kata lelaki itu. Mata mereka kembali beradu. Pramugari telah mengumumkan agar penumpang memasang shift bel mereka. Pesawat segera lepas landas.
            Tahun-tahun berlalu. Ais telah memiliki dua anak kembar yang lucu-lucu setelah melahirkan anak kembar tersebut ia divonis tak bisa melahirkan lagi karena kista yang bersarang di rahimnya. Sesaat sebelum operasi pengangkatan kista dilakukan suaminya mengalami kecelakaan lalulintas, suaminya, lelaki yang ditemui di pesawat hari itu, tergesa-gesa mengemudikan mobilnya ketika mendapat telepon Ais masuk rumah sakit. Ais memang tak pernah punya cinta yang cukup untuk suaminya itu, namun ia tahu arti Ridwan untuknya. Dari Ridwan pula ia mendapat semangat untuk menulis, Ridwan yang bekerja sebagai kepala penerbitan sebuah majalah, tiap hari membawakan berlembar-lembar copian  puisi-puisi, cerpen dan artikel yang bagus untuknya.  Sampai Ais berhasil jadi penulis yang cukup produktif diberbagai media. Ridwan tak pernah pamrih untuk semua itu. Meskipun Ridwan tahu bahwa cinta Ais masih ada untuk Reno, ia tak pernah mengusiknya bahkan menyinggungnya. Ais tak pernah menyesal hidup dengan Ridwan dan melahirkan anak-anaknya tersebut. Ia bersyukur. Kini ia kembali ke kotanya. Karena tak ada lagi yang membuatnya harus bertahan di Kalimantan. Ais beruntung karna masih sempat menyelesaikan S2. Ia kini menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengisi acara-acara seminar kepenulisan dan pendidikan. Ais tak berniat menikah lagi meski umur masih terbilang muda dan beberapa teman sejawatnya sudah memintanya, ia masih ingin sendiri ataukah ia masih menunggu Reno. Tak ada yang tahu. Ais sudah cukup bisa menata hatinya. Reno yang tahu kepulangan Ais, segera mengunjunginya.
            Kini mereka sedang duduk di beranda rumah Ais, matahari senja sudah menapakkan sinarnya. “Kau tak ada kabar sama sekali Ais.” “Kau yang membuatku begitu.”Reno terhenyak. “Kau tak pernah tahu, dulu aku selalu menunggumu. Tapi hingga aku pergi kau tak mengatakan apa-apa, dalam hati aku menyangka aku memang bukan siapa-siapa di hatimu. Dibandara hari itu pun kau tak datang, sejak itu aku telah menghapusmu.Untuk apalagi harus menunggu. Kukira 4 tahun cukup menguras rinduku, bahkan cinta pada suamiku yang selalu kurasa tak pernah cukup karena masih terus memikirkanmu.” Reno semakin terkejut. Ais dulu selalu lembut padanya dan sangat kekanakk-kanakan tapi kalimatnya barusan tegas dan langsung ke pokok permasalahan. Ais memang sudah sangat berubah, apakah pengalaman hidup telah menempanya sedemikian rupa? Reno ingin menceritakan segalanya pada Ais tentang perasaannya dan alasannya yang tak membuat ia menikah sampai saat itu. “menikahlah denganku, Ais.” justru kalimat itu yang meluncur dari mulutnya. Sekarang justru Ais yang terkejut, Ais menatap tajam pada Reno. Kalimat itu yang dulu ia tunggu dari Reno tapi mengapa baru sekarang ia ucapkan. Saat semuanya sudah terlambat, menikah pun tak ada gunanya lagi, Ais tak bisa memberikan keturunan pada Reno. Dan Ais tak cukup percaya pada Reno bisa menerima apa adanya dia sekarang dan kedua anak kembarnya. Ia tak ingin anak-anaknya tak mendapat cukup cinta. Reno menatap Ais yang terdiam,”aku berjanji jadi ayah yang baik untuk Shilla dan Syifa jika itu yang kau takutkan.” Ais menatap Reno cukup lama lalu bangkit melangkah kearah anak-anaknya yang sedang bermain, Ais meraih Shilla dan Syifa ke dalam pelukannya. “Kami sudah cukup bahagia hidup bertiga,””tak perlu memulai sesuatu yang sudah terlambat, Ren” Maka, adzan maghrib menemani Ais yang menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam dan menutup pintu rumah dan pintu hatinya untuk Reno.
Nurlaila Syifa Marhuseng, 11012011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar