LIRIH
“Please, I don’t want to talk him
about! I need my privacy, Har!”
Rena
jelas tak ingin membicarakan tentang Ryan. Tapi penolakannya itu justru
membuatku bingung. Apa yang membuat Rena menolak? Ryan, secara fisik ia gagah,
anak tunggal dari keluarga yang cukup berada, seorang hacker yang handal, dan
satu lagi keistimewaannya, ia lelaki yang taat. Lima waktunya tidak bolong
hanya saja wajah angkuhnya membuat ia tak terlalu mudah untuk bergaul, bahasa
tubuhnya seperti sebuah intimidasi meski begitu banyak perempuan yang cari
perhatian padanya.
Lalu Rena? Di
kampus ia termasuk mahasiswi cerdas, dan santun dengan jilbab rapat yang
menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meskipun di kelas secara fisik masih banyak
yang lebih unggul darinya namun wibawa dari wajah senyumnya membuat teman-teman
senang berada di dekatnya. Sebagai sahabat baik, aku setuju jika mereka bisa
bersama karena keramahan Rena bisa mengimbangi kekakuan Ryan dalan bergaul.
Menurutku itu penting.
“Har,
I don’t need a boyfriend now but a soul mate, a true friend who leads me in my
religion and my life.”
“Don’t
you think that he is a good boy? He is nice one.”
“Nice
for them.”
Jawab Rena
sambil menganggukkan kepalanya pada satu arah.
Aku mengikuti pandangan Rena. Beberapa mahasiswi sedang mendekati Ryan
di aula kampus tak jauh dari tempat kami duduk. Siang ini, kami sedang menunggu
dosen mata kuliah Integrated Language
Skills yang sudah telat satu jam. Tak ada mahasiswa berani meninggalkan kelas karena Mrs. Arma
sering muncul sesaat sebelum jam kuliahnya habis. Kebiasaan yang jadi andalan
dosen-dosen dengan jam terbang yang cukup padat dan itu sangat merugikan,
meskipun sebagian teman merasa senang tiap kali
ada mata kuliah yang kosong.
“Rena,
aku nggak ngerti sama kamu. Banyak yang menyukai Ryan karena dia…..”
“Gagah,
tajir, pintar, dan populer!”
Rena memotong kalimatku.
“Har,
Ryan memang punya segalanya, punya semua yang disukai wanita. Aku tidak
munafik, aku suka itu tapi aku tidak ingin menyukainya sebatas apa kelebihannya
selain itu, aku betul-betul tidak merasakan apa-apa padanya. Aku hanya ingin
jadi temannya!”
“Ditambah lagi
dia angkuh, aku nggak suka orang kayak gitu hehehe!” Rena terkekeh sendiri
dengan kalimatnya.
“Honestly, plis!”
pintaku padanya.
“I don’t need
a boyfriend, but a real friend who leads my family later in my religion and my
life.” Ada keseriusan menaungi tatapannya.
“If I
can be…” lirihku.
***
Dua
minggu menjelang final test, perpustakaan dalam tubuh kampus
ungu ini jadi ramai, mahasiswa pasti sedang sibuk cari referensi untuk
tugas-tugas akhir sebelum final sama denganku yang sedang terpojok di sudut
tersepi ruangan ini. Bukan untuk mengerjakan tugas aku hanya sedang menunggu
Ryan. Tadi pagi dia menelponku ada yang ingin dia tanyakan. Pasti soal Rena
lagi. Anak itu masih belum menyerah padahal baru kemarin ia ditolak, Rena
menceritakannya padaku. Hanya saja aku sudah cukup lama menunggunya namun dia
tak tampak juga. Sebuah pesan singkat membuyarkan lamunanku.
“Har, aku di
depan perpus. Bisa keluar?
Tanpa
pikir panjang, aku menyambar ransel di loker penitipan bergegas menemui Ryan.
Dari jendela perpustakaan aku bisa melihatnya, dia pun sedang melihat ke
arahku. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Aku
sungguh-sungguh menyukainya, Har!” Keluh Ryan membuka percakapan.
“Meskipun dia
hanya melirikku, aku sangat bahagia.”
“Ryan, boleh
aku tahu alasanmu menyukainya?”
“Aku
menyukainya, Har. Jujur, aku tak tahu kenapa, namun setiap berada di dekatnya,
aku melihat ketulusan seperti mengalir dari tatapannya”
“Ya ampun!
Ternyata kaupun bisa romantis!” Kucoba untuk membuatnya tersenyum.
“Plis, Har.
Aku serius.”
“Ryan, kamu
temanku dan Rena sahabatku, aku tentu senang jika kalian bisa bersama karena
aku tahu kalian itu cocok
hanya saja Rena sudah mengatakan alasannya kan?”
“Dia butuh
seorang imam bukan seorang pacar! Aku tak menganggap itu berlebihan karena wajar
jika Rena memilih yang seperti itu.”
“Lalu, kenapa
kau tak jadi imamnya saja?”
“Har, mana
bisa aku jadi imam? Pengetahuan agamaku standar, imanku naik turun dan untuk
jadi seorang imam itu nggak gampang, tanggung jawabnya berat!”
“Ryan….Ryan…jadi
selama ini kamu pikir imam yang seperti ‘itu’ yang Rena maksud?”
“Loh, dia
sendiri yang mengatakannya.”
“Yang dia
maksud itu seorang suami!!! Dia nggak berniat pacaran langsung nikah begitu!”
“Suami?”Ryan
melongo
“Iya, suami!”
“Yang itu aku
sanggup!”
“Kalo begitu
lamar dia, kalo ngga’ ya diambil orang!” Jawabku sambil berlalu karena aku
yakin dia pasti masih akan mengejarku.
“Tapi kamu
yakin dia bakal nerima aku? Kan belum kerja, kuliah saja baru semester
lima…”jawab Ryan lemas.
“Soal itu
tanya langsung padanya. Ryan, aku sangat mengenalnya, dia memang cukup istimewa
tapi plis kalo memang kalian nantinya
bisa bersama jangan sakiti dia, karena dia sahabat yang aku sayang…Eits, jangan curiga dulu semuanya tulus kok.” Kuucapkan kalimat itu
dengan sungguh-sungguh. Kutatap Ryan percaya.
“Apa sebagai
sahabatnya kau tidak pernah punya perasaan yang lebih istimewa padanya?”
selidik Ryan.
“Persahabatan
kami lebih baik dari cinta itu
sendiri”. Oups, kalimat itu terlontar begitu saja.
“Artinya kamu
memang menyukainya!” Ryan menyimpulkan.
“Ryan, plis…aku lebih menjagokan kamu untuk
dekat dengannya. Aku hanya tak mau merusak persahabatan kami, aku tak ingin
Rena menjauhiku, itu saja.” Jawabku tegas.
“Kamu yakin,
Har?” Tanya lagi.
Aku hanya
menatap lantai koridor kampus yang kami lalui tanpa menjawab pertanyaan Ryan.
“Bagaimana
jika ia pun menyukaimu?” Aku menghentikan langkah mendengar pertanyaan
tersebut. Sekilas ada rasa senang mendengar kemungkinan itu, tapi…
“Tidak mungkin
dia hanya menganggapku sahabat…” Jawabku lirih.
“Lalu
bagaimana jika memang itu kenyataannya, Har?”
Tiba-tiba
sebuah suara yang sangat aku kenal mengejutkan kami, Rena!
Maka, aku tak
bisa menjawab lidahku kelu seketika sedang Ryan berlalu dengan pasti, kecewa.
***