Senin, 27 Desember 2010

SEBUAH CINTA UNTUK KELAS KECILKU

Beberapa hari ini aku sungguh tak bisa nahan emosi, puncaknya siang ini. Berkali-kali aku mengeluarkan kalimat-kalimat peringatan kepada ke enam siswa MADIN-ku. Tak hanya peringatan tapi menjentikkan jari di telinga mereka jika mereka sudah keterlaluan. Kali ini mereka sudah betul-betul keterlaluan, sepeda jengki penjaga kebun yang ada di depan sekolah mereka patahkan sadelnya dan membiarkan sepeda itu tergeletak begitu saja di pinggir kebun setelah mereka pakai beramai-ramai dan tanpa permisi pada pak Udin,pemilik sepeda itu. Ditanya pun tak yang mengaku.

“Kalo tak yang mengaku, baik,kalian harus mengganti semua biaya perbaikan sepeda itu!”tegasku.

“Wajar kalo pak Ali begitu kesal sama kalian, menganggap santri-santri di sini nakal, saya menyesal membela kalian waktu itu, karena nyatanya memang kalian seperti anak- anak yang tak berpendidikan, tak punya tata krama!!!. Kulampiaskan semua kekesalanku.

“tapi bu, kan bukan saya duluan bu.” Anwar mulai terisak.

“gak ada alasan, kemarin kalian bergantian memakainya. Jadi harus tanggung sama-sama”

Wardiman, yang paling sering aku semprot dengan kalimat peringatanku yang cukup pedas (dalam hati aku pun menyesal telah mengatakannya). Kesalahan yang sama tiap hari berulang, itu saja yang selalu dia kerjakan. Mengangkat kaki di atas kursi ketika aku menjelaskan di depan kelas bagiku dan tentu bagi semua orang itu satu sikap yang tidak sopan, belum lagi sifat sok tahunya, meskipun dia memang cukup pintar tapi sifat demikian tak ada yang suka. Guru-guru lain pun selalu mengeluhkan hal yang sama. Tiap hari ada saja tingkahnya yang menyebalkan, sering kali dia tidak mencatat pelajaran yang ku terangkan alasannya dia tidak punya pulpen dan dia yakin mengerti dengan pelajaran yang kusampaikan, bukankah itu sangat menyebalkan?

Erlin, umurnya sudah menginjak 11 tahun, tapi kemampuan berbahasanya?aaaaaarghhhhh…gak lebih dari anak kelas 1 SD, tapi ditanya soal anak band, lagu-lagu, film dan play station. Dia ahlinya. Bertahun-tahun tinggal di pesantren hafalan Al Qur’annya pun memprihatinkan. Lebih menjengkelkan lagi di kelas sering berbuat ulah, tak mau menulis, mengganggu teman dan sering bertingkah aneh. Tapi satu waktu dia berubah jadi anak yang manis, diam dan tak banyak bicara. Aku senang, hari itu pun aku tidak menyerahkannya kepada kepala sekolah yang biasa meminta dia untuk belajar sendiri karena aku yakin dia akan berubah, namun dua hari berlalu, penyakit nakalnya kambuh lagi!!!grhhhh, kembali aku muntahkan kalimat pedas untuknya…

Amri, cukup pintar, rajin nyanyi di waktu yang salah, hebatnya senang menghafal Al-Qur’an, tapi keisengannya menjadi pelengkap di kelas kecilku itu.

Ilham,…Tuhan apa yang bisa kuungkapkan tentang anak yang satu ini? Aku pikir cukup dengan ungkapan Bu Harita ”kalo bukan dia yang celaka pasti dia yang mencelakai temannya.” Bahkan guru-guru yang lain menambahkan anak itu menderita penyakit syaraf akibat sering celaka tersebut!

Anwar, paling kalem. rajin, patuh. Semua sifat anak manis ada padanya ditambah dengan wajahnya yang lumayan tampan. Namun tetap gak ada siswa yang sempurna! Boleh saja dia manis, tapi soal pelajaran butuh waktu lebih lama bagi dia untuk memahami pelajaran yang aku berikan, kemampuan menghafalnya pun …ah.

Yusra, anak manis setara dengan Anwar, kemampuannya pun selevel Anwar, tapi jauh lebih cengeng belum lagi rok yang dipakainya selalu berkancing tak lengkap yang tanpa ia sadari sering memperlihatkan auratnya. Tuhan, ia pun melengkapi kelas kecil itu.

Muliati, siswi yang lumayan centil meski aku sangat suka dengan semangatnya datang jalan kaki di sekolah yang cukup jauh dari rumahnya.

Mawaddah, siswi baru di kelas kecilku, si kecil yang teramat pendiam. Siswi pindahan dari sekolah nun jauh di Papua sana. Pantas rasanya jika aku menyebut mereka ‘kelas kecilku yang butuh cinta lebih dari yang lain’, sejengkel-jengkelnya aku pada mereka, aku takkan sanggup berbohong bahwa mereka adalah satu cinta dalam hatiku.

Kuperhatikan wajah mereka satu persatu, aku tahu mereka sedang galau dengan sikapku yang belakangan ini lebih sering marah daripada tersenyum. Tak seperti biasanya padahal baru dua hari yang lalu pula aku mengajak mereka untuk belajar di luar kelas agar aku bisa memahami jiwa kecilnya dan mencoba membuang jarak diantara kami. Berkali-kali pula aku terus berusaha memacu semangat belajar mereka dan ujungnya kutemukan kembali diriku yang belum sepenuhnya jadi guru yang baik untuk mereka.

Di sela jam pelajaran aku sering termenung sendiri, menyesali kekasaran kata-kataku pada mereka. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami tiap usahaku untuk membuat mereka selangkah lebih maju. Mereka masih terlalu polos untuk kujejali dengan berbagai materi pelajaran yang kaku karena system pendidikan yang kaku pula. Sering aku membenci diri sendiri karena aku tak bisa berbuat lebih banyak lagi. Aku hanya ingin mereka cerdas, cerdas yang tak sembarangan, cerdas yang berakhlak karena mereka adalah binaan pesantren. Dalam kamusku, siswa pesantren harus lebih cerdas dari siswa di sekolah umum manapun. Ilmu agama yang melimpah adalah poin utama mereka.

Lalu kini, di depanku kedelapan wajah mereka menyiratkan ketakutan padaku. Sebuah perasaan yang seharusnya tak ada, mungkin mereka berpikir aku membencinya, meski sejujurnya aku justru jauh menyayangi mereka, rasa sayang yang tak kutahu cara untuk mengungkapkannya, aku sendiri terjebak dalam suasana hatiku yang kacau karena cintaku pada mereka tersandung tingkah mereka yang sudah melewati batasnya.

Terlintas di pikiranku, apakah Engkau sengaja menempatkan aku di kelas mereka sebagai uji coba untuk kecintaanku pada dunia pendidikan?agar aku tak menyerah andai bertemu dengan kelas yang jauh lebih ‘unik’ dari mereka?jika itu hikmahnya, aku takkan menyerah. Senyum mereka adalah pemacu semangatku untuk jadi lebih baik.

Tuhan, aku takkan sanggup mengatakan benci dengan mereka meski tiap hari kusiram mereka dengan kalimat-kalimat jengkelku

Tuhan, aku tahu mereka tak sehebat yang lain, tapi aku yakin mereka adalah bibit yang juga butuh cinta

Tuhan, ku marahi mereka setiap saat, tapi setiap detik pula hatiku berkata mereka cintaku, mereka cintaku

Tuhan, aku tahu aku bukanlah guru yang baik tapi aku berusaha untuk jadi teman yang akan membantu mereka mengenal dunia

Tuhan, aku memang tak bisa lebih lama lagi mendampinginya, tapi Engkau pasti tahu aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi.

Tuhan, aku memang bukan Bu Laila yang lembut dan tulus seperti yang mereka sering nyanyikan untukku, tapi aku yakin aku adalah salah satu dari sekian orang yang mencintai mereka sepenuh hati.

Tuhan, lewat tulisan ini aku ungkapkan…aku cinta kebodohan mereka,

Aku cinta kenakalan mereka, aku cinta keluguan mereka, karena itu kumohon bimbing mereka dengan cahaya ilmu dariMU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar