Ketika gelap mulai menyelimuti dan pekat serasa penjara,harapan mulai tak bersua maka ingatlah di tiap kegelapan itu akan ada satu cahaya yang menerangi dan menuntunmu menemukan jalan tuk kembali.
Senin, 27 Desember 2010
SEJAUH AKU BISA BERLARI
ADA CINTA DI PELABUHAN KOTA BARU
Kapal Fery yang akan membawaku kembali ke tanah Sulbar perlahan mulai meninggalkan pelabuhan Kota Baru,
Kubaca pesan singkat dari Risa yang masuk di HP tadi, yang sabar ya neng, cari teman ngobrol siapa tahu ada yang keren N’ satu lagi jangan pasang muka sadis ya, nanti penumpang Fery pada kabur. Muka sadis? Oh iya, air mukaku memang bisa sangat keruh kalau lagi bosan. Sudah setengah jam aku naik ke fery, duduk rapi N pasang muka manis tapi tetap aja nggak dapat teman ngobrol, yang nyapa banyak sih,itu penjual snack dari tadi ngikutin aku terus. Pesan terkirim bersamaan dengan masuknya telpon ibuku, beliau pasti nanya kapalnya dah berangkat apa belum, trus disuruh baca doa safar dan jangan sembarang bicara sama orang. Aku yakin itu.
“Assalamu’alaikum, Ma. Iya kapalnya dah berangkat dari setengah jam yang lalu, doa safarnya sudah dibaca, aku juga ngga bicara sembarangan sama orang.”Hehehe, Mama pasti sebel aku kerjai begitu.
“Hush, bukan bicara sembarangan sama orang tapi jangan bicara sama orang sembarangan.”
“Beda ya, Ma?kirain sama!siapa suruh ngebiarain aku ke
“Bukannya kamu senang pergi sendirian?katanya tomboy kok cengeng? ”
Duh, justru Mama yang bikin aku sebal. Tomboy?itukan dulu Ma. Apa Mama nggak bisa bedakan sekarang aku
“Udah dulu, Ma. Sinyalnya mulai hilang nih. Doain selamat ya, Ma!!
“iya, ingat baca doa sa..”
“Iya, Assalamu’alaikum
“Dasar, Ade. Wa’alaikum’salam.”
Klik. 1 pesan diterima, laporan dari sms yang kukirim untuk Risa tadi. Sinyal di kapal mulai lemah, setelah menonaktifkan HP dan menyimpannya di tas, aku beranjak ke buritan segera kukenakan sweater putih kesayanganku untuk menghalau dinginnya udara laut menjelang maghrib, aku yakin udara di buritan kapal cukup dingin apalagi menjelang maghrib seperti ini, meski demikian aku juga tak ingin melewatkan sunset. Setidaknya hanya itu yang bisa menghibur kesepianku dalam perjalanan nanti.
*****
Jam tanganku menunjukkan pukul 21.17, sebagian penumpang sudah terlelap. TV 21 inchi yang berada tepat di depan barisan kursi penumpang masih menyiarkan acara Opera Van Java, sayangnya aku tidak bisa menikmati acara itu. Beberapa penumpang yang masih terjaga di depanku asyik bercengkrama suara mereka agak keras menenggelamkan suara tv. Aku hanya bisa mendesah kebosanan, bukan acara tv lagi yang aku saksikan malahan acara live Opera Penumpang Fery, para pemainnya ya para penumpang yang masih terjaga itu. Ada ibu muda yang asyik menidurkan anak dalam gendongannya, lelaki gondrong yang asyik memilin rambutnya, tiga lelaki paruh baya yang terkekeh-kekeh mengomentari Opera Van Java, dan……hoaah…aku mulai mengantuk namun mataku masih ingin memperhatikan mereka. Kulihat kembali jam di tangan, nggak biasanya aku mengantuk jam segini, tak apalah dengan tidur aku tidak akan merasakan kebosanan yang memuncak. Kuatur tas jinjing dii sampingku agar bisa kugunakan sebagai bantal, jaket yang kupakai tadi aku lepas dan kujadikan selimut, meski hanya setengah tubuh yang tertutupi namun itu cukup menghangatkan selain itu aku bisa menutup wajahku dari cahaya lampu yang berada tepat di atasku.
Sesaat sebelum memejamkan mata tak terdengar lagi suara-suara penumpang yang masih terjaga tadi. Sementara itu kapal fery mulai terguncang pelan karena ombak mulai besar, serasa diayun rasa kantukku semakin menjadi. Semoga aku tidak telat untuk sholat subuh esok, doaku dalam hati.
****
Jam 06.43
Aku baru saja keluar dari kamar mandi umum dalam deck penumpang, seorang nenek lengkap dengan peralatan mandi dan sehelai baju tersampir di bahunya masuk menggantikanku, mungkin beliau ingin mandi. Tadinya kupikir aku juga ingin mandi sebelum kapal merapat di pelabuhan Mamuju beberapa jam lagi tapi mengingat kondisi kamar mandinya yang kurang aman karena kusen pintunya sudah rusak aku memilih cuci muka dan gosok gigi saja.
Kuperkirakan sejam lagi kapal merapat di pelabuhan, barang bawaanku sudah aku atur agar lebih mudah mengangkutnya, aku menoleh ke jendela kaca tak jauh dari tempat dudukku tapi pandanganku justru jatuh pada seorang lelaki yang berdiri dekat jendela tersebut, lama aku pandangi agak ganjil sejak kemarin aku tak melihat sosok itu di kapal, sejak kapan dia naik? Mungkin dia sadar jika aku sedang memperhatikannya, dia langsung berbalik dan melangkah ke arahku.
“Hai, sendirian?”sapa pemuda itu. Dia langsung saja duduk di bangku kosong tak jauh dari ku.
“Iya.”jawabku pendek.
“Di Sulawesi bagian mana?”
“Polman.” Aku hanya menyebutkan kabupaten saja.
“Aku juga akan ke Polman tepatnya di Campalagian, kita bisa ambil panther yang sama.”
Orang ini bicaranya langsung tapi tawarannya baik, aku memang belum terlalu hafal jalur Mamuju-Polman. Kuperhatikan sekilas lelaki itu, air mukanya tenang, hatiku meyakinkan dia orang baik-baik.
“Ya, boleh.”
“Dari kemarin aku perhatiin kamu, mau nyapa tapi kayaknya kamu tak ingin diganggu.” Terus kenapa pagi ini berani menyapaku?gumamku dalam hati.
“Biasanya mood seseorang itu baik di pagi hari jadi aku pikir nggak ada salahnya jika pagi ini aku menyapamu.” Refleks aku menatapnya, hanya untuk memastikan dia hanya asal jawab. Uups…ternyata dia juga menatapku. Aku langsung tertunduk.
“Asli Sulawesi atau
“Sulawesi, kemarin cuma mau ngunjungin kakak yang di
“Hmm, eh kapalnya sudah merapat, turun yuk!”
“Eh, iya”
“Kantung plastiknya biar aku yang bawa.”
“Nggak usah.” Tapi dia sepertinya sengaja tidak mendengar kata-kataku. Jujur aku malu, baru kenal saja sudah merepotkan begitu. Kami turun lewat tangga besi di sisi kanan kapal, penumpang sudah banyak yang antri untuk turun dari kapal. Lelaki itu sesekali melihat ke belakang, hanya untuk memastikan aku tidak terpisah darinya. Namun, aku merasa agak ganjil beberapa penumpang terus memperhatikan kami berdua, apa ada yang aneh?
Ketika mobil panther yang dipilih oleh pemuda penolongku tadi mulai meninggalkan pelabuhan, para penumpang mobil yang sebagian besar laki-laki paruh baya itu menyulut rokoknya, seketika asap mulai menyebar aku yang paling anti dengan asap rokok kontan tutup mulut, pemuda penolongku tadi langsung sigap mengambil kantung plastic kecil yang berada di jok depan panther, mungkin dia pikir aku bakal muntah, kutolak bantuannya itu dengan menggeleng.
“Kamu mabuk?”
“Tidak, aku tidak suka asap rokok.” Suaru tenggelam dilindas deru mobil yang kencang tapi aku yakin dia mendengarku.
“Istrinya mabuk ya, De?” seorang penumpang yang juga merokok bertanya pada pemuda yang duduk di sampingku itu.
“Tidak, Pak. Dia hanya tidak suka asap rokok.”
“Oh, maaf dek sebentar lagi rokoknya habis kok.”
Aku tidak menanggapi kata-kata bapak itu, mataku justru mengawasi lelaki di sampingku yang tidak membantah kata ‘isteri’ tadi. Sekarang aku tahu kenapa penumpang-penumpang di kapal tadi memperhatikan kami. Rupanya mereka melihat kami seperti sepasang suami isteri. Aku ingin menjelaskan tapi lelaki penolong itu menatap balik padaku aku tak mengerti arti tatapannya, tapi itu membuatku urung menjelaskan.
Selama di perjalanan aku hanya terdiam, tiap kali ada penumpang yang turun aku pun ikut turun karena aku duduk tepat di samping pintu penumpang jadi aku harus memberi jalan. Ketika mobil singgah di sebuah rumah makan, aku langsung turun menuju toilet. Kulihat si pemuda tadi pun masuk ke toilet untuk laki-laki.
Sejam kemudian, mobil kembali melaju. Namun, pikiranku masih tertinggal di rumah makan tadi, gara-gara dia mentraktirku rasanya seperti kencan karena kami makan di meja yang lebih dekat dengan jendela dan diseberang jendela itu ada kecantikan pantai Somba. Disana aku juga menyadari kebodohanku, selama dalam perjalanan pemuda ini banyak menolongku namun tak sekali pun aku ingat untuk menanyakan namanya. Ia meminta nomor HPku dan mengetik namanya sendiri.. Ardi Pratama.
Aku ngga yakin akan berani menghubunginya nanti meskipun ia meninggalkan NO itu di hpku. Setidaknya, ia sudah memberi kesan bahwa aku telah mengenal seorang pemuda yang sopan dan bertanggung jawab sepertinya. Semoga itu bukan penilaian salah. Karena belum tentu aku masih bisa bertemu dengannya lagi atau dengan lelaki dengan perangai yang sama sepertinya.
***
Aku berpamitan pada guru-guru yang masih punya jam mengajar. Aku minta izin pulang lebih awal, habis ini aku ingin mampir di rumah sahabatku, Ai, sebulan tidak bertemu dengannya membuatku kangen untuk berbagi cerita lagi. Semoga ia ada di rumah siang ini.
Rumah Ai dan tempatku ngajar tidak terlalu jauh, hanya sepuluh menit jalan kaki. Sebelum sempat aku mengetuk pintu rumahnya, Ai sudah menyambutku.
“Teganya, pergi nggak bilang-bilang!” sapanya.
“Afwan, k’ Ryan memang nelponnya dadakan paginya aku langsung pergi!” jawabku
“
“setengah bulan disana, aku hanya bias bilang
“allaaah, cinta pada pandangan pertama sama kotanya or ketemu cowok ganteng disana ya?”sindir Ai
“
“Dah ke sungai Mahakam?”
“Belum,habis jauh. But kalo balik ntar saya kesana”jawabku sambil meminum teh manis yang mulai dingin itu.
“Kenapa kembali kesana?gimana siswa-siswamu?”Tanya Ai heran
“Aku kesana justru untuk siswa-siswaku juga, system pendidikan di Kalimantan bagus, aku ingin belajar banyak soal itu, aku berharap bisa menerapkan itu di kampung kita, dan semua butuh proses meskipun saya banyak belajar tentu aku juga harus punya legalitas, aku ingin melanjutkan S2 untuk Ilmu Pendidikan, semuanya untuk kampung kita, Ai”
“Berarti 2 tahun ini kamu akan belajar disana?”
“Tidak 2 tahun sayang, lebih malah. Aku ingin biayain sendiri kuliahku untuk itu aku harus kerja,doakan ya”
“Kamu mau daftar PNS disana ya?saya dengar mudah terangkat jadi PNS disana”
“PNS?lebih enak jadi pengusaha g harus nunggu bulanan untuk dapat uang, pengusaha enak tiap hari dapat hehehe…”
“Dasar nekat kau!”
"sungguh, aku g main-main, PNS justru akan mengikatku,aku tidak mau seperti itu, apalagi harus mendaftar di kalimantan..waahhhh..butuh sepuluh tahun baru boleh pindah dan niat awalku kesana memang tidak seperti itu kan?"
SEBUAH CINTA UNTUK KELAS KECILKU
Beberapa hari ini aku sungguh tak bisa nahan emosi, puncaknya siang ini. Berkali-kali aku mengeluarkan kalimat-kalimat peringatan kepada ke enam siswa MADIN-ku. Tak hanya peringatan tapi menjentikkan jari di telinga mereka jika mereka sudah keterlaluan. Kali ini mereka sudah betul-betul keterlaluan, sepeda jengki penjaga kebun yang ada di depan sekolah mereka patahkan sadelnya dan membiarkan sepeda itu tergeletak begitu saja di pinggir kebun setelah mereka pakai beramai-ramai dan tanpa permisi pada pak Udin,pemilik sepeda itu. Ditanya pun tak yang mengaku.
“Kalo tak yang mengaku, baik,kalian harus mengganti semua biaya perbaikan sepeda itu!”tegasku.
“Wajar kalo pak Ali begitu kesal sama kalian, menganggap santri-santri di sini nakal, saya menyesal membela kalian waktu itu, karena nyatanya memang kalian seperti anak- anak yang tak berpendidikan, tak punya tata krama!!!. Kulampiaskan semua kekesalanku.
“tapi bu, kan bukan saya duluan bu.” Anwar mulai terisak.
“gak ada alasan, kemarin kalian bergantian memakainya. Jadi harus tanggung sama-sama”
Wardiman, yang paling sering aku semprot dengan kalimat peringatanku yang cukup pedas (dalam hati aku pun menyesal telah mengatakannya). Kesalahan yang sama tiap hari berulang, itu saja yang selalu dia kerjakan. Mengangkat kaki di atas kursi ketika aku menjelaskan di depan kelas bagiku dan tentu bagi semua orang itu satu sikap yang tidak sopan, belum lagi sifat sok tahunya, meskipun dia memang cukup pintar tapi sifat demikian tak ada yang suka. Guru-guru lain pun selalu mengeluhkan hal yang sama. Tiap hari ada saja tingkahnya yang menyebalkan, sering kali dia tidak mencatat pelajaran yang ku terangkan alasannya dia tidak punya pulpen dan dia yakin mengerti dengan pelajaran yang kusampaikan, bukankah itu sangat menyebalkan?
Erlin, umurnya sudah menginjak 11 tahun, tapi kemampuan berbahasanya?aaaaaarghhhhh…gak lebih dari anak kelas 1 SD, tapi ditanya soal anak band, lagu-lagu, film dan play station. Dia ahlinya. Bertahun-tahun tinggal di pesantren hafalan Al Qur’annya pun memprihatinkan. Lebih menjengkelkan lagi di kelas sering berbuat ulah, tak mau menulis, mengganggu teman dan sering bertingkah aneh. Tapi satu waktu dia berubah jadi anak yang manis, diam dan tak banyak bicara. Aku senang, hari itu pun aku tidak menyerahkannya kepada kepala sekolah yang biasa meminta dia untuk belajar sendiri karena aku yakin dia akan berubah, namun dua hari berlalu, penyakit nakalnya kambuh lagi!!!grhhhh, kembali aku muntahkan kalimat pedas untuknya…
Amri, cukup pintar, rajin nyanyi di waktu yang salah, hebatnya senang menghafal Al-Qur’an, tapi keisengannya menjadi pelengkap di kelas kecilku itu.
Ilham,…Tuhan apa yang bisa kuungkapkan tentang anak yang satu ini? Aku pikir cukup dengan ungkapan Bu Harita ”kalo bukan dia yang celaka pasti dia yang mencelakai temannya.” Bahkan guru-guru yang lain menambahkan anak itu menderita penyakit syaraf akibat sering celaka tersebut!
Anwar, paling kalem. rajin, patuh. Semua sifat anak manis ada padanya ditambah dengan wajahnya yang lumayan tampan. Namun tetap gak ada siswa yang sempurna! Boleh saja dia manis, tapi soal pelajaran butuh waktu lebih lama bagi dia untuk memahami pelajaran yang aku berikan, kemampuan menghafalnya pun …ah.
Yusra, anak manis setara dengan Anwar, kemampuannya pun selevel Anwar, tapi jauh lebih cengeng belum lagi rok yang dipakainya selalu berkancing tak lengkap yang tanpa ia sadari sering memperlihatkan auratnya. Tuhan, ia pun melengkapi kelas kecil itu.
Muliati, siswi yang lumayan centil meski aku sangat suka dengan semangatnya datang jalan kaki di sekolah yang cukup jauh dari rumahnya.
Mawaddah, siswi baru di kelas kecilku, si kecil yang teramat pendiam. Siswi pindahan dari sekolah nun jauh di Papua sana. Pantas rasanya jika aku menyebut mereka ‘kelas kecilku yang butuh cinta lebih dari yang lain’, sejengkel-jengkelnya aku pada mereka, aku takkan sanggup berbohong bahwa mereka adalah satu cinta dalam hatiku.
Kuperhatikan wajah mereka satu persatu, aku tahu mereka sedang galau dengan sikapku yang belakangan ini lebih sering marah daripada tersenyum. Tak seperti biasanya padahal baru dua hari yang lalu pula aku mengajak mereka untuk belajar di luar kelas agar aku bisa memahami jiwa kecilnya dan mencoba membuang jarak diantara kami. Berkali-kali pula aku terus berusaha memacu semangat belajar mereka dan ujungnya kutemukan kembali diriku yang belum sepenuhnya jadi guru yang baik untuk mereka.
Di sela jam pelajaran aku sering termenung sendiri, menyesali kekasaran kata-kataku pada mereka. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami tiap usahaku untuk membuat mereka selangkah lebih maju. Mereka masih terlalu polos untuk kujejali dengan berbagai materi pelajaran yang kaku karena system pendidikan yang kaku pula. Sering aku membenci diri sendiri karena aku tak bisa berbuat lebih banyak lagi. Aku hanya ingin mereka cerdas, cerdas yang tak sembarangan, cerdas yang berakhlak karena mereka adalah binaan pesantren. Dalam kamusku, siswa pesantren harus lebih cerdas dari siswa di sekolah umum manapun. Ilmu agama yang melimpah adalah poin utama mereka.
Lalu kini, di depanku kedelapan wajah mereka menyiratkan ketakutan padaku. Sebuah perasaan yang seharusnya tak ada, mungkin mereka berpikir aku membencinya, meski sejujurnya aku justru jauh menyayangi mereka, rasa sayang yang tak kutahu cara untuk mengungkapkannya, aku sendiri terjebak dalam suasana hatiku yang kacau karena cintaku pada mereka tersandung tingkah mereka yang sudah melewati batasnya.
Terlintas di pikiranku, apakah Engkau sengaja menempatkan aku di kelas mereka sebagai uji coba untuk kecintaanku pada dunia pendidikan?agar aku tak menyerah andai bertemu dengan kelas yang jauh lebih ‘unik’ dari mereka?jika itu hikmahnya, aku takkan menyerah. Senyum mereka adalah pemacu semangatku untuk jadi lebih baik.
Tuhan, aku takkan sanggup mengatakan benci dengan mereka meski tiap hari kusiram mereka dengan kalimat-kalimat jengkelku
Tuhan, aku tahu mereka tak sehebat yang lain, tapi aku yakin mereka adalah bibit yang juga butuh cinta
Tuhan, ku marahi mereka setiap saat, tapi setiap detik pula hatiku berkata mereka cintaku, mereka cintaku
Tuhan, aku tahu aku bukanlah guru yang baik tapi aku berusaha untuk jadi teman yang akan membantu mereka mengenal dunia
Tuhan, aku memang tak bisa lebih lama lagi mendampinginya, tapi Engkau pasti tahu aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi.
Tuhan, aku memang bukan Bu Laila yang lembut dan tulus seperti yang mereka sering nyanyikan untukku, tapi aku yakin aku adalah salah satu dari sekian orang yang mencintai mereka sepenuh hati.
Tuhan, lewat tulisan ini aku ungkapkan…aku cinta kebodohan mereka,
Aku cinta kenakalan mereka, aku cinta keluguan mereka, karena itu kumohon bimbing mereka dengan cahaya ilmu dariMU