Senin, 27 Desember 2010

ADA CINTA DI PELABUHAN KOTA BARU

Kapal Fery yang akan membawaku kembali ke tanah Sulbar perlahan mulai meninggalkan pelabuhan Kota Baru, Balikpapan. Aku tidak tahu pasti jarak antara Kalimantan dengan Sulawesi via transportasi laut tapi perjalanan akan memakan waktu 18 jam. Itu artinya 18 jam dari jam 6 sore ini aku hanya akan diam membisu, perjalanan panjang untuk seorang diri itu sangat membosankan, dari loket tempatku membeli tiket tadi aku sudah bisa menebak kira-kira 18 jam itu akan kuhabiskan dengan sangat membosankan. Pertama-tama, memilih tempat duduk dan meletakkan barang, untuk tempat duduk aku lebih suka yang dekat jendela meskipun nanti aku hanya bisa memandangi laut,laut dan laut. Kedua, menyusun kata-kata penolakan untuk para penjajah makanan yang sibuk hilir mudik di deck penumpang sebelum sang nahkoda memberi aba-aba jika kapal segera diberangkatkan. Ketiga, langsung ngacir ke buritan kapal duduk sendirian memandang sunset sampai terdengar sayup-sayup adzan maghrib dari speaker di seantoro kapal. Keempat, selesai sholat ngantri ambil jatah makanan dengan menukarkan tiket yang sudah dibeli untung yang ini ngantrinya nggak harus berebutan. Kelima, duduk manis sampai bosan hingga ketiduran sampai besok pagi kapal mulai menyandar di pelabuhan. Yang terakhir ini yang sungguh tidak mengenakkan. Duduk sendirian, nggak ada teman ngobrol ditambah olengnya kapal membuat perutku mulai mual. Puncaknya aku akan menyaksikan beberapa penumpang yang muntah akibat mabuk kapal. Tuhan sabarkan aku, doaku dalam hati.

Kubaca pesan singkat dari Risa yang masuk di HP tadi, yang sabar ya neng, cari teman ngobrol siapa tahu ada yang keren N’ satu lagi jangan pasang muka sadis ya, nanti penumpang Fery pada kabur. Muka sadis? Oh iya, air mukaku memang bisa sangat keruh kalau lagi bosan. Sudah setengah jam aku naik ke fery, duduk rapi N pasang muka manis tapi tetap aja nggak dapat teman ngobrol, yang nyapa banyak sih,itu penjual snack dari tadi ngikutin aku terus. Pesan terkirim bersamaan dengan masuknya telpon ibuku, beliau pasti nanya kapalnya dah berangkat apa belum, trus disuruh baca doa safar dan jangan sembarang bicara sama orang. Aku yakin itu.

Assalamu’alaikum, Ma. Iya kapalnya dah berangkat dari setengah jam yang lalu, doa safarnya sudah dibaca, aku juga ngga bicara sembarangan sama orang.”Hehehe, Mama pasti sebel aku kerjai begitu.

Hush, bukan bicara sembarangan sama orang tapi jangan bicara sama orang sembarangan.

Beda ya, Ma?kirain sama!siapa suruh ngebiarain aku ke Balikpapan sendirian , pulangnya pasti sendirian juga.

Bukannya kamu senang pergi sendirian?katanya tomboy kok cengeng?

Duh, justru Mama yang bikin aku sebal. Tomboy?itukan dulu Ma. Apa Mama nggak bisa bedakan sekarang aku kan nggak pernah pake celana hacker favoritku, ini sudah pake baju kurung jilbab lumayan lebar, masih dibilang tomboy?Mama, nggak rela benar dikerjai sama anak sendiri.

Udah dulu, Ma. Sinyalnya mulai hilang nih. Doain selamat ya, Ma!!

“iya, ingat baca doa sa..”

“Iya, Assalamu’alaikum

“Dasar, Ade. Wa’alaikum’salam.

Klik. 1 pesan diterima, laporan dari sms yang kukirim untuk Risa tadi. Sinyal di kapal mulai lemah, setelah menonaktifkan HP dan menyimpannya di tas, aku beranjak ke buritan segera kukenakan sweater putih kesayanganku untuk menghalau dinginnya udara laut menjelang maghrib, aku yakin udara di buritan kapal cukup dingin apalagi menjelang maghrib seperti ini, meski demikian aku juga tak ingin melewatkan sunset. Setidaknya hanya itu yang bisa menghibur kesepianku dalam perjalanan nanti.

*****

Jam tanganku menunjukkan pukul 21.17, sebagian penumpang sudah terlelap. TV 21 inchi yang berada tepat di depan barisan kursi penumpang masih menyiarkan acara Opera Van Java, sayangnya aku tidak bisa menikmati acara itu. Beberapa penumpang yang masih terjaga di depanku asyik bercengkrama suara mereka agak keras menenggelamkan suara tv. Aku hanya bisa mendesah kebosanan, bukan acara tv lagi yang aku saksikan malahan acara live Opera Penumpang Fery, para pemainnya ya para penumpang yang masih terjaga itu. Ada ibu muda yang asyik menidurkan anak dalam gendongannya, lelaki gondrong yang asyik memilin rambutnya, tiga lelaki paruh baya yang terkekeh-kekeh mengomentari Opera Van Java, dan……hoaah…aku mulai mengantuk namun mataku masih ingin memperhatikan mereka. Kulihat kembali jam di tangan, nggak biasanya aku mengantuk jam segini, tak apalah dengan tidur aku tidak akan merasakan kebosanan yang memuncak. Kuatur tas jinjing dii sampingku agar bisa kugunakan sebagai bantal, jaket yang kupakai tadi aku lepas dan kujadikan selimut, meski hanya setengah tubuh yang tertutupi namun itu cukup menghangatkan selain itu aku bisa menutup wajahku dari cahaya lampu yang berada tepat di atasku.

Sesaat sebelum memejamkan mata tak terdengar lagi suara-suara penumpang yang masih terjaga tadi. Sementara itu kapal fery mulai terguncang pelan karena ombak mulai besar, serasa diayun rasa kantukku semakin menjadi. Semoga aku tidak telat untuk sholat subuh esok, doaku dalam hati.

****

Jam 06.43

Aku baru saja keluar dari kamar mandi umum dalam deck penumpang, seorang nenek lengkap dengan peralatan mandi dan sehelai baju tersampir di bahunya masuk menggantikanku, mungkin beliau ingin mandi. Tadinya kupikir aku juga ingin mandi sebelum kapal merapat di pelabuhan Mamuju beberapa jam lagi tapi mengingat kondisi kamar mandinya yang kurang aman karena kusen pintunya sudah rusak aku memilih cuci muka dan gosok gigi saja.

Kuperkirakan sejam lagi kapal merapat di pelabuhan, barang bawaanku sudah aku atur agar lebih mudah mengangkutnya, aku menoleh ke jendela kaca tak jauh dari tempat dudukku tapi pandanganku justru jatuh pada seorang lelaki yang berdiri dekat jendela tersebut, lama aku pandangi agak ganjil sejak kemarin aku tak melihat sosok itu di kapal, sejak kapan dia naik? Mungkin dia sadar jika aku sedang memperhatikannya, dia langsung berbalik dan melangkah ke arahku.

“Hai, sendirian?”sapa pemuda itu. Dia langsung saja duduk di bangku kosong tak jauh dari ku.

“Iya.”jawabku pendek.

“Di Sulawesi bagian mana?”

“Polman.” Aku hanya menyebutkan kabupaten saja.

“Aku juga akan ke Polman tepatnya di Campalagian, kita bisa ambil panther yang sama.”

Orang ini bicaranya langsung tapi tawarannya baik, aku memang belum terlalu hafal jalur Mamuju-Polman. Kuperhatikan sekilas lelaki itu, air mukanya tenang, hatiku meyakinkan dia orang baik-baik.

“Ya, boleh.”

“Dari kemarin aku perhatiin kamu, mau nyapa tapi kayaknya kamu tak ingin diganggu.” Terus kenapa pagi ini berani menyapaku?gumamku dalam hati.

“Biasanya mood seseorang itu baik di pagi hari jadi aku pikir nggak ada salahnya jika pagi ini aku menyapamu.” Refleks aku menatapnya, hanya untuk memastikan dia hanya asal jawab. Uups…ternyata dia juga menatapku. Aku langsung tertunduk.

“Asli Sulawesi atau Kalimantan?”tanyanya lagi.

“Sulawesi, kemarin cuma mau ngunjungin kakak yang di Balikpapan.”

“Hmm, eh kapalnya sudah merapat, turun yuk!”

“Eh, iya”

“Kantung plastiknya biar aku yang bawa.”

“Nggak usah.” Tapi dia sepertinya sengaja tidak mendengar kata-kataku. Jujur aku malu, baru kenal saja sudah merepotkan begitu. Kami turun lewat tangga besi di sisi kanan kapal, penumpang sudah banyak yang antri untuk turun dari kapal. Lelaki itu sesekali melihat ke belakang, hanya untuk memastikan aku tidak terpisah darinya. Namun, aku merasa agak ganjil beberapa penumpang terus memperhatikan kami berdua, apa ada yang aneh?

Ketika mobil panther yang dipilih oleh pemuda penolongku tadi mulai meninggalkan pelabuhan, para penumpang mobil yang sebagian besar laki-laki paruh baya itu menyulut rokoknya, seketika asap mulai menyebar aku yang paling anti dengan asap rokok kontan tutup mulut, pemuda penolongku tadi langsung sigap mengambil kantung plastic kecil yang berada di jok depan panther, mungkin dia pikir aku bakal muntah, kutolak bantuannya itu dengan menggeleng.

“Kamu mabuk?”

“Tidak, aku tidak suka asap rokok.” Suaru tenggelam dilindas deru mobil yang kencang tapi aku yakin dia mendengarku.

“Istrinya mabuk ya, De?” seorang penumpang yang juga merokok bertanya pada pemuda yang duduk di sampingku itu.

“Tidak, Pak. Dia hanya tidak suka asap rokok.”

“Oh, maaf dek sebentar lagi rokoknya habis kok.”

Aku tidak menanggapi kata-kata bapak itu, mataku justru mengawasi lelaki di sampingku yang tidak membantah kata ‘isteri’ tadi. Sekarang aku tahu kenapa penumpang-penumpang di kapal tadi memperhatikan kami. Rupanya mereka melihat kami seperti sepasang suami isteri. Aku ingin menjelaskan tapi lelaki penolong itu menatap balik padaku aku tak mengerti arti tatapannya, tapi itu membuatku urung menjelaskan.

Selama di perjalanan aku hanya terdiam, tiap kali ada penumpang yang turun aku pun ikut turun karena aku duduk tepat di samping pintu penumpang jadi aku harus memberi jalan. Ketika mobil singgah di sebuah rumah makan, aku langsung turun menuju toilet. Kulihat si pemuda tadi pun masuk ke toilet untuk laki-laki.

Sejam kemudian, mobil kembali melaju. Namun, pikiranku masih tertinggal di rumah makan tadi, gara-gara dia mentraktirku rasanya seperti kencan karena kami makan di meja yang lebih dekat dengan jendela dan diseberang jendela itu ada kecantikan pantai Somba. Disana aku juga menyadari kebodohanku, selama dalam perjalanan pemuda ini banyak menolongku namun tak sekali pun aku ingat untuk menanyakan namanya. Ia meminta nomor HPku dan mengetik namanya sendiri.. Ardi Pratama.

Aku ngga yakin akan berani menghubunginya nanti meskipun ia meninggalkan NO itu di hpku. Setidaknya, ia sudah memberi kesan bahwa aku telah mengenal seorang pemuda yang sopan dan bertanggung jawab sepertinya. Semoga itu bukan penilaian salah. Karena belum tentu aku masih bisa bertemu dengannya lagi atau dengan lelaki dengan perangai yang sama sepertinya.

***

Aku berpamitan pada guru-guru yang masih punya jam mengajar. Aku minta izin pulang lebih awal, habis ini aku ingin mampir di rumah sahabatku, Ai, sebulan tidak bertemu dengannya membuatku kangen untuk berbagi cerita lagi. Semoga ia ada di rumah siang ini.

Rumah Ai dan tempatku ngajar tidak terlalu jauh, hanya sepuluh menit jalan kaki. Sebelum sempat aku mengetuk pintu rumahnya, Ai sudah menyambutku.

“Teganya, pergi nggak bilang-bilang!” sapanya.

“Afwan, k’ Ryan memang nelponnya dadakan paginya aku langsung pergi!” jawabku

Kalimantan itu kayak apa sih?”Tanya Ai penasaran. Tentu dia sudah kebelet mau dengar cerita tentang Kalimantan, provinsi minyak itu.

“setengah bulan disana, aku hanya bias bilang Balikpapan I am falling in love at the first sight!”

“allaaah, cinta pada pandangan pertama sama kotanya or ketemu cowok ganteng disana ya?”sindir Ai

Balikpapan emang kota yang bagus banget , bersih dan nyaman banget apalagi rumah kakakku sitenya pas di atas bukit jadi serasa di puncak, kantor,ruko dan perumahan disana itu keren abis,pokoknya kalo sempat jalan-jalan kesana g nyesel lah.”

“Dah ke sungai Mahakam?”

“Belum,habis jauh. But kalo balik ntar saya kesana”jawabku sambil meminum teh manis yang mulai dingin itu.

“Kenapa kembali kesana?gimana siswa-siswamu?”Tanya Ai heran

“Aku kesana justru untuk siswa-siswaku juga, system pendidikan di Kalimantan bagus, aku ingin belajar banyak soal itu, aku berharap bisa menerapkan itu di kampung kita, dan semua butuh proses meskipun saya banyak belajar tentu aku juga harus punya legalitas, aku ingin melanjutkan S2 untuk Ilmu Pendidikan, semuanya untuk kampung kita, Ai”

“Berarti 2 tahun ini kamu akan belajar disana?”

“Tidak 2 tahun sayang, lebih malah. Aku ingin biayain sendiri kuliahku untuk itu aku harus kerja,doakan ya”

“Kamu mau daftar PNS disana ya?saya dengar mudah terangkat jadi PNS disana”

“PNS?lebih enak jadi pengusaha g harus nunggu bulanan untuk dapat uang, pengusaha enak tiap hari dapat hehehe…”

“Dasar nekat kau!”

"sungguh, aku g main-main, PNS justru akan mengikatku,aku tidak mau seperti itu, apalagi harus mendaftar di kalimantan..waahhhh..butuh sepuluh tahun baru boleh pindah dan niat awalku kesana memang tidak seperti itu kan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar