Jumat, 22 Juli 2011

Sebelum Sesal


“Ra, aku menunggu undangan pernikahanmu. Kapan?”
Ini kalimat yang kau tanyakan padaku kala itu. Aku hanya bisa menunduk dalam mendengarnya. Adakah kau tahu, aku merana mendengarnya. Tidakkah kau tahu aku hanya ingin denganmu?
          “Bagaimana denganmu?” tanyaku hanya sekedar tuk menutupi gemuruh hati yang dibuat karenamu.
          “Bagaimana mungkin aku akan menikah mahar belum ada” jawabmu.
          Ah, itukah alasannya, Le? Mahar tinggi?
          “Mungkin besok menikah dengan orang Jawa saja” lirihmu dengan senyum. Namun hatiku basah.
          Kenapa tidak denganku saja?, kalimat itu pun hanya menari di benakku. Tak terucapkan, tak tersampaikan.
***
          “Usiamu sekarang seharusnya sudah pantas untuk menikah, Ra.”
          Aku hanya diam. Kali ini dari sekian kalinya aku kembali mendengar nasehat itu, nasehat yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya.
          “Tidak baik anak gadis menolak terus lamaran yang datang padanya.”
          Aku kembali tertunduk semakin dalam dan senyap.
          “Irwan lelaki yang baik, PNS, soleh pula, apa lagi yang membuatmu tak menyukainya?”
          Pertanyaan yang sama untuk nama-nama yang berbeda. Aku hanya ingin berlalu dari majelis ini dengan segala kalimat yang kupendam dalam-dalam di benakku.
          Tahukah, Abah? Tahukah, Ummi? Mereka yang kalian sebutkan itu hanya menyukaiku karena predikatku saja selama ini. Aku, Haura Khairunnisa, anak pengusaha terpandang, muslimah cerdas, jilbab rapat, ketua organisasi ini itu. Mereka menyukaiku karena itu saja. Hanya itu! Dan aku tak ingin hidup dengan mereka, bagaimana jika kesemua predikat itu tak ada padaku? Apakah mereka akan melirikku?
Apakah mereka akan berbondong-bondong mendatangiku? Tidak abah, tidak ummi, tidak sama sekali.
          Jika memang mereka berniat menikah untuk ibadah, tentu mereka akan lebih memilih ukhti Diah, yang ghirah dakwahnya lebih kuat dariku meski bukan dari kalangan atas, atau ukhti Husna yang merelakan keinginannya untuk kuliah demi adik-adiknya. Bekerja siang malam sebagai tulang punggung keluarga?
          Abah, ummi..aku melihat pernikahan adalah jalan jihad untukku. Bukan dari mahar yang tinggi, pesta yang mewah, menantu yang sempurna. Bukan itu yang kuinginkan.
          Aku ingin seperti bunda Khadijah, yang menawarkan dirinya pada Rasulullah,
          Aku hanya ingin seperti Ummu Sulaim yang menerima keislaman suaminya sebagai mahar.
          Aku hanya ingin menjadi wanita yang mulia dengan mahar yang dimudahkan, dengan lelaki yang hatiku pilih karena jiwanya yang mulia, bukan hanya sekedar dari penampilan. Lelaki bersahaja yang telah lama bersemayam di hatiku.
***
          “Ra, penempatanku di pulau terpencil. Tak ada sinyal di sana, tak ada listrik.”
          Tatapku hanya bisa terarah pada ujung sepatumu tak berani memandang lebih, air mataku mulai menggenang.
“Kita akan semakin jauh.”
Suara parauku pun hanya terdengar lirih padahal aku ingin mengungkapkan lebih banyak lagi. Semoga kau mengucapkan kalimat lain, harapku diam-diam.
“Jaga diri baik-baik ya, Ra.” Pesanmu singkat.
Hanya itukah, Le? Tidak adakah pesan untukku selain itu? Ataukah janji bahwa kau akan segera kembali? Atau mungkin kau meminta aku menunggumu?
Hatiku mulai gerimis kembali. Sampai kita mengucapkan salam perpisahan sore itu, kau tak mengatakan apa-apa lagi. 
Le, aku ingin ikut denganmu! Teriakku dalam benak.
***
          “Terima kasih telah menerimaku sebagai imammu. Kelak aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak-anak kita.” Kuucapkan lagi kalimat itu untuk kesekian kalinya pada wanita di depanku ini. Sayang, ia tetap tak bergeming.
          Tiga hari sudah aku menikahinya, namun selama itu pula ia tak menunjukkan senyum padaku. Sedihkah ia atau menyesalkah ia menikah denganku?
          Mata beningnya selalu digenagi airmata. Diam lalu menangis ingin kuhapus dukanya namun entah bagaimana caranya. Selangkah saja aku mendekat, ia akan berlalu dari hadapku berjalan gontai ke dalam kamar dan melanjutkan tangisnya di sana.
          Allahu rabbi, aku tak berniat mendzaliminya. Wanita yang sangat kucintai itu. Di genggamannya ada buku agenda berwarna hitam. Apakah semua isi hatinya ada disana? ingin sekali kuraih dan kubaca agar aku tahu bagaimana menyembuhkan lukamu...
***
          "Assalamua'laikum, De' Haura. Ini kak Alim, ingatkan?"
Semoga Allah selalu melindungimu di sana. kakak hanya ingin menyampaikan kabar, tentang adikku Ale. 
          Alhamdulillah, Ale telah menyelesaikan amanahnya sebagai seorang hamba dari Allah. Insha Allah ia pergi dengan syahid. Bukankah itu cita-cita kalian dahulu? Allah menjawabnya dengan cara yang indah.
          Jangan sedih, ya. Ia menitip pesan untukmu. Jadilah bidadari. kakak pun tak mengerti maksudnya, hanya ia tersenyum ketika mengucapkan itu. 
***
        






Tidak ada komentar:

Posting Komentar