Jumat, 22 Juli 2011

MASIH,..


Kutatap amplop putih berisi surat kontrak kerja dengan yayasan tempatku sekarang bekerja. Tempatku menghabiskan beberapa bagian usiaku sebagai seorang pengajar.  Satu tahun telah berlalu, selama itu pula aku meninggalkan kampung halaman di pedalaman pulau Celebes. Dan surat dalam genggamanku sekarang ini adalah surat keputusan jabatanku selanjutnya di yayasan tersebut.
          “Barakallah untuk amanah baru anda sebagai pegawai tetap di yayasan ini.”
          Kalimat itu pula sebagai penanda bahwa aku telah memutuskan batasku sendiri dengan segala kerinduan yang kupendam untuk segala hal tentang tempatku berasal.  Tentang rumah mungil di tepi pantai di tepi teluk Mandar, tentang orang tuaku yang tak ada hentinya mengirim do’a nya, tentang teman-temanku, dan tentang…sahabatku.
          Oh, rasanya kelu mengucapkan satu kata itu. Masih bisakah hubungan ini kusebut persahabatan? Jika rinduku yang mulai bermakna lain selalu menemani. Menghias tiap detikku yang mulai terasa sepinya. Rinduku yang dalam dan bingung sebab segala penolakanku untuk mengakui perasaanku sesungguhnya setelah jarak menjauhkan kami. Sanggupkah nanti aku menemuinya sebagai seseorang yang telah menodai arti persahabatan kami selama ini yang begitu bersahaja?
          Tiap kali mengingat kenyataan itu aku hanya bisa menghela nafas dalam dan menghembus pasrah. Kenyataan yang akhirnya membuat hubungan kami mulai terasa kaku. Tak ada lagi telpon sore hari yang datang darinya tiap jam di kantorku menunjukkan angka empat sore. Jam pulang kerjaku. Tak ada lagi pesan singkatnya yang berisi puisi-puisi lucu yang ia kirimkan tiap kali aku mengadu akan keruwetan dunia kerjaku. Semuanya mulai berubah. Bahkan untuk menanyakan kabarnya melalui pesan singkat pun aku tak sanggup. Rasa malu selalu mencegahku untuk melakukan itu meski dalam hati rindu menggebu.
          Persahabatan kami kala itu sungguh tulus. Masih teringat jelas bagaimana kami menghabiskan waktu bersama di masa-masa kuliah yang cemerlang. Dia lelaki jenius sekaligus sosok pemalu di kelas. Lelaki yang hanya tahu tersipu malu tiap kali teman-teman lain di kelas kami menggodanya. Namun dalam waktu yang bersamaan berubah menjadi sosok yang begitu dikagumi karena kepintarannya. Dan aku sendiri? Sosok cewek tomboy dengan segala kecerewetanku yang selalu memenuhi waktu-waktu diamnya. Kusebut demikian, karena ia terkadang menjelma seperti patung tanpa suara sama sekali. Jika begitu, aku dengan senang hati bahkan sangat terlalu mengganggunya dengan segala curhatku yang sangat kekanakkan-kanakan di depannya.
          “Twiiiiiins, antara kepercayaan, harapan dan cinta mana yang terbaik?” tanyaku.
          “Hm?”
          “Jawab dong!”
          Pintaku setengah memaksa.
          “Hm…cinta.”
          “Salah!”
          “Lalu?”
          “Persahabatan.”
          “Huh?”
          “Iya, persahabatan. Karena di sana kepercayaan, harapan dan cinta bersatu. Jika kita memiliki sahabat tentu kita mempercayainya dan punya banyak harapan karena ia akan mendukung dan menemani kita di saat yang sulit dan senang.”
          “ Lalu cintanya?”
          “Aku nggak tahu. Soalnya di film itu nggak dibahas soal cinta.” Jawabku sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
          “Kalimat dari film ya?”
          Aku mengangguk dengan cepat dan ia hanya tersenyum.
          “Jika sudah tahu ceritakan padaku.”
          Itulah percakapan terakhir kami sesaat sebelum berpisah. Hingga waktu berlalu begitu cepat aku masih tidak tahu jawabannya.
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar